Selarasindo.com — Bangsa Indonesia, yang dihuni beragam suku di Bumi Nusantara ini, adalah bangsa yang berkesenian, khususnya seni tari. Dari Aceh hingga Papua, memiliki tradisi menari dan seni tari.
Seni tari bukan hanya hiburan dan mengabadikan keindahan, namun juga laku ritual, transeden, pencarian diri dan pencerahan. Menari adalah laku untuk mengekspresikan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Selain memuliahan lewat agama, ritual religi, menari adalah bentuk ekrpesi lain dalam menyembah Illahi.
Karena itu tak ada kemuliaan yang lebih satu dari yang lain di antara keduanya – beragama dan berkesenian. Beribadah kepada Illahi dan melakukan kegiatan seni sama mulianya. Karena sama dijalani sebagai laku spiritual.
Ketika heboh film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ (sutradara Garin Nugroho) yang menampilkan lengger lanang, hari hari ini – sebagai warga Banyumas saya terpanggil untuk menjelaskan.
Lengger Lanang adalah seni rakyat Banyumas yang belakangan ini bangkit lagi, disukai lagi – sebagai seni dan identitas lokal. Para pria berdandan ala wanita dan menari dengan iringan gamelan atau calung.
Hadirnya lengger lanang menghidupkan memori lama sebelum seni rakyat ini dimarjinalkan oleh rezim Orde Baru – karena pernah diseret oleh Lekra ke ideologi Komunis. Kini kehadiran lengger lanang tak hanya membuat masyarakat jatuh cinta lagi, tetapi juga dunia jatuh cinta akan keindahannya.
Tarian khas Banyumas ini dimainkan oleh laki-laki yang mengubah dirinya menjadi perempuan secara utuh dalam keseharian. Sebagian dari penari, tetap menjadi laki laki – dan hidup sebagai laki laki, beranak isteri – sesudahnya. Namun sebagiannya memang transgender.
Lengger Lanang bukan sebuah tarian biasa. Dan bukan tarian “baru”. Budaya ini lahir dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburuan dan sudah terus dipraktikkan sejak dahulu – ratusan tahun lalu.
Dan tak sembarang orang yang bisa benar-benar menghayati menjadi penari Lengger Lanang. Butuh proses yang panjang dan berliku untuk bisa menjadi seorang penari yang tak hanya paham tetapi juga mendalami budaya ini.
Persiapannya pun bermacam-macam, seperti berpuasa, bertapa di tempat yang ‘wingit’/ keramat, dan tentunya rajin berlatih. Bahkan salah satu penari Lengger Lanang yang terkenal, mendiang Mbok Dariah, dimasuki ‘indang’ lengger (roh lengger) sewaktu kecil.
Budayawan yang juga penulis novel ‘Ronggeng Dukuh Paruk’, Ahmad Tohari, mengatakan di Banyumas seni ‘cross gender’ sudah sangat biasa. “Sejak dulu ada. Penari menjadi wandu atau banci karena menari lengger itu banyak,” katanya.
Hanya saja saat ini generasi itu mulai hilang dan lebih banyak penari ronggeng yang dimainkan perempuan. Kisah ‘cross gender’ juga tertulis di ‘History of Java’ karya Sir Raffles. Menurut dia, kesenian Banyumasan hampir semuanya berorientasi kerakyatan.
Dariah merupakan penari lengger lanang tertua dan meninggal belum lama ini, dalam usia 90 tahun yang menghabiskan hidup hingga akhir hayatnya – sebagai lengger lanang. Ia menjalankan ritual yang komplit untuk bisa menjadi penari lengger.
Dariah merupakan lengger lanang generasi sebelum kemerdekaan yang konsisten menari hingga akhir hayatnya. Pada masanya, mendiang Mbok Dariah menjadi orang yang sangat dihormati karena beliau seorang penari Lengger Lanang.
Namun, hal tersebut berubah sejak Peristiwa Gerakan 30 September 1965 terjadi.
Dariah yang bernama aslinya Sadam, berperilaku seperti perempuan di panggung. Gerakannya luwes dan gemulai. Namun, energi yang dipancarkan dari kerendahan hati seorang penari lengger masih awet hingga kini.
Didik Nini Thowok, seniman asal Yogyakarta yang sudah terkenal di kancah dunia, pernah berkolaborasi menari bersama dengan mendiang Mbok Dariah, di Padepokan Payung Agung, Desa Banjarsari, Kecamatan Nusawungu, Cilacap pada pertengahan November 2012 lalu.
Keduanya tampak saling belajar dan saling mengagumi. Sejak itu, Lengger Lanang telah mendapatkan panggung untuk bersinar kembali. Penari-penari Lengger Lanang pun mulai muncul kembali demi menjaga kelestarian budaya Banyumasan ini.
Menjelang akhir hayatnya, Dariah bersama tiga penari lengger lanang lainnya didapuk menari lengger di Petilasan Manggihsari di desa itu. Di petilasan itulah Dariah puluhan tahun lalu melakukan perjalanan ritualnya untuk menjadi seorang penari lengger.
Panggung dibuat sederhana, tanpa atap. Meski tanpa atap, panggung cukup teduh karena terlindung rerimbunan pohon beringin yang berdiri kokoh di belakang petilasan. Penonton berjubel di dekat panggung. Tak ada sekat antara penari dan penonton.
Tetua adat Desa Somakaton, Jaya Martono mengatakan, pentas mini napak tilas itu juga dimaksudkan untuk mengajak masyarakat agar kembali berpikir bersih.
“Di sini ada takir atau makanan yang dibungkus daun pisang untuk dimakan bersama,” katanya. Takir merupakan akronim dari ‘tata pikir’ atau menata pikiran. Saat ini, kata Jaya, banyak agama yang merasa benar sendiri dan menjelekkan agama lain.
Dariah merupakan simbol militansi kesenian rakyat yang saat ini mulai terancam punah. Bagi Dariah, lengger lanang merupakan kesenian adiluhung yang penuh makna filosofis kehidupan manusia.
Pada tahun 2011, mendiang Mbok Dariah mendapatkan anugerah dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kategori Maestro Seniman Tradisional.
ADA yang menyebut sejarah pria menari ala wanita di Banyumas tercatat sejak abad ke-18. Kala itu Mangkunegaran VII memerintahkan tiga sastrawan untuk berkeliling Jawa. Mereka diperintahkan untuk menulis kehidupan penduduk Jawa saat itu.
Versi lain, lengger lanang dihadirkan karena di zaman penjajahan Belanda wanita tak boleh keluar rumah. Akhirnya pria yang didandani dan memerankan perempuan. Belakangan setelah perempuan boleh tampil, jadilah lengger perempuan. Mereka disebut Ronggeng.
Lengger Lanang bukan sebuah tarian biasa. Budaya ini lahir dari tradisi pemujaan terhadap Dewi Kesuburuan dan sudah terus dipraktikkan sejak dahulu. Tak hanya Lengger Lanang, tari Ronggeng juga berasal dari tradisi yang sama. Namun, yang membedakannya adalah tari Ronggeng hanya dilakukan oleh penari perempuan. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, tarian Lengger Lanang hanya dilakukan oleh laki-laki namun mereka berpakaian dan berdandan sebagai perempuan.
Yusmanto, budayawan lokal Banyumas menambahkan, untuk menjadi penari lengger yang sebenarnya memang harus mengikuti ritual khusus. “Tiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon harus tidur di depan pintu,” ujar Astuti, penari lengger asal Cilacap yang ikut menari bersama Dariah.
Selain itu, ia harus melakukan puasa mutih alias tidak makan apa pun kecuali nasi putih sekepal dalam sehari. Calon penari harus melakukan tirakat agar menjiwai dan bisa diterima khalayak.
Ritual yang dilakukan Dariah disampaikan kepada generasi penerusnya.
Rudi Lukmanto, penari lengger lanang masa kini, mengatakan bahwa lengger masih menjadi tontonan yang ditunggu masyarakat Banyumas. “Saya ingin mengikuti jejak Mbok Dariah,” kata bapak satu anak itu.
Dia mengaku kerap dikejar-kejar pria maupun wanita yang terpesona oleh aksi tarinya. “Kalau yang menari perempuan, namanya ronggeng. Sedangkan lengger, penarinya laki-laki,” Rudi menambahkan.
Tarian Lengger Lanang, dibuat dengan gerakan sederhana, diulang-ulang, dan tidak canggih agar budaya ini bisa dikuasai dan dimiliki oleh semua orang. Lengger Lanang tidak diniatkan sebagai seni adiluhung (kesenian yang elit) karena lahir dari rahim rakyat.
RIANTO lahir di Dusun Mertinggi, Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Tanda lahir kemerahan bebercak di kulit keningnya di antara dua pangkal alis muncul saat berusia dua bulan. Saat itu penghujung tahun 1981.
Si ibu kerap mencangkung gelisah. Ia khawatir bercak merah bakal mengganggu kesehatan putranya.
Suatu malam, dalam gendongan ibunya, Rianto lantas diajak pergi ke pertunjukan lengger di Dusun Wogen, Desa Kaliori, Kecamatan Kalibagor, Kabupaten Banyumas. Tujuan sang ibu bukan untuk melihat gerak pinggul atau goyangan pundak penari lengger. Tetapi berniat meminta ‘suwuk’ (tiupan di kening sebagai doa kesehatan) dari penari lengger.
“Kening saya ditiup oleh penari lengger. Mungkin saat itu, energi lengger masuk ke tubuh saya. Tanda lahir yang dicemaskan ibu saya lambat laun hilang”, kata Rianto mengisahkan kembali cerita ibunya.
Di dunia lengger ada kepercayaan kuat tentang kehadiran indang atau roh lengger yang merasuk dalam tubuh penari. Seseorang yang mendapat ‘indang’ bisa melakukan tarian lengger dan menembang tanpa belajar.
Jika ‘indang’ lengger telah masuk ke dalam raga seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak ada yang dapat menolaknya.
Rianto mengenang, saat masih bocah ia pun sudah gemar menari lengger dan menembang tanpa ada yang mengajari. Padahal di Dusun Mertinggi tempat ia tinggal, lengger pantang dipertunjukkan. Sebabnya, dusun tersebut merupakan pusat kesenian tradisi ebeg atau jaran kepang.
Tak menemukan pengetahuan tentang lengger dari lingkungan sosialnya, beranjak remaja Rianto lantas memutuskan masuk sekolah menengah kesenian di Banyumas. Di titik inilah nilai-nilai kebudayaan lengger mulai ia tangkap melalui penghayatan emotif bukan semata kognitif. Rianto pun terhanyut dalam ekstase seni mengolah tubuh sebagai alat komunikasi.
“Tubuh saya adalah tubuh tradisi lengger,” kata Rianto.
Kisah hidup perjalanan Rianto diabadaikan dalam film ‘Kucumbu Tubuh Indahku’ yang kini tayang di bioskop tanah air.( Dimas/ sh)