”
MENDADAK saya geli membaca berita di instagram dari Kompas TV. Ya. Kompas TV. Media terkemuka kita ini mendadak dijadikan ajang promosi jabatan oleh LSM.
“Kabareskrim Polri, Komjen Listyo Sigit Prabowo, dinilai layak menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia atau Kapolri untuk menggantikan Idham Azis yang akan memasuki masa pensiun, ” demikian disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia atau MAKI, Boyamin Saiman.
Kabareskrim Komjen Pol. Listyo Sigit Prabowo dan buronan Djoko Soegiarto Tjandra. (ist).
“Saya mengatakan dia (Kabareskrim) layak menjadi Kapolri,” kata Boyamin Saiman dalam wawancara dengan Kompas TV pada Kamis (30/7/2020) malam.
Makin banyak saja LSM yang “ngamen” – tak malu malu mempromosikan jagoannya. Kita tahu lah pasti “ada udang di balik rempeyek” di balik pernyatan itu.
Bahwa penangkapan itu layak diapresiasi – memang, ya. Tapi hanya karena menangkap satu “ekor” koruptor layak jadi Kapolri ? Entar dulu. Janggal. Amat sangat lebay!
Harap diingat, bahwa di luar negeri sana, masih banyak buron koruptor yang bersemayam, lari dari jeratan hukum dan harus dikejar juga. Tentulah kita tahu menangkap koruptor tidak gampang. Tapi untuk sukses menangkap satu koruptor jadi Kapolri – bagaimana dengan meringkus puluhan nama yang belum tertangkap? Layak jadi presiden ?!
Harga satu koruptor terlalu mahal untuk jabatan Kapolri. Minimal 10 “ekor” lah – itu pun yang kakap, sekalian menguji – seberapa bersih si penangkap dari yang bakal ditangkapnya.
Kalau bisa menangkap sepuluh saja layak dipromosikan jadi “Trinojoyo 1”- sebutan lain untuk jabatan orang nomor satu di korp kepolisian kita itu.
MENURUT catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak 1996 hingga 2020 masih tersisa 39 buronan kasus korupsi yang belum berhasil ditangkap aparat penegak hukum.
Singapura adalah tujuan favorit karena Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu.
Singapura adalah tujuan favorit karena Indonesia belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara itu. Dari Singapura, beberapa di antara lalu pergi ke negara-negara lain.
Lokasi lain yang teridentifikasi menjadi destinasi persembunyian koruptor adalah New Guinea, Cina, Hongkong, Amerika Serikat dan Australia.
Sebagiannya sudah tertangkap, sebagiannya meninggal, seperti Hendra Rahardja di Australia – atau Marimutu Sinivasan yang kabarnya bunuh diri, dengan melompat dari gedung bertingkat – sedangkan lainnya seperti hilang ditelan bumi dan kasusnya seperti tenggelam.
Masih panjang daftar koruptor yang terjerat hukum Indonesia dan melarikan diri ke luar negeri dan jadi “pe er” Polri berikutnya. Jangan lah keburu nafsu promosi.
Menurut ICW, institusi penegak hukum yang belum mampu menangkap buronan koruptor : Kejaksaan 21 orang buron, 13 buron Kepolisian, dan 6 buron KPK.
Media asing ‘Asia Times’ menyoroti penangkapan Djoko Tjandra setelah sebelumnya sukses menangkap Maria Pauline di Belanda, yang buron selama 17 tahun itu . Maria diduga membobol BNI sebesar Rp 1,7 triliun.
Nama buron kelas kakap Indonesia lain yang disebut ‘Asia Times’ adalah Eddy Tansil dan Hartawan Aluwi.
Eddy Tansil membobol uang negara Rp 1,3 triliun dari kredit Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) melalui perusahaan Golden Key Group (GKG). Dia kabur saat menjalani masa hukuman 17 tahun di LP Cipinang, dan sampai sekarang keberadaannya masih misteri. Dikabarkan lari ke China.
Kemudian Hartawan Aluwi – buron kasus Bank Century. Hartawan Aluwi, terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
Ada Hesyam Al-Waraq dan Rasat Ali Rizfi, warga negara Arab Saudi, terlibat kasus Bank Century dengan kerugian negara Rp 3,11 triliun yang masih berstatus buronan Kejaksaan Agung. Keduanya dikabarkan kabur ke Singapura dan Inggris.
Hesham Al-Warraq dan Rafat Ali Rizvi adalah dua pemegang saham asing di Bank Century yang telah ditetapkan bersalah dalam kasus korupsi tersebut.
Rafat bersama Hesham Al Warraq, divonis 15 tahun penjara dan mengganti kerugian negara sebesar Rp.3,1 triliun secara tanggung renteng oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 2010. Keduanya terbukti meneken “letter of commitment” untuk menjamin transaksi melalui surat berharga yang memiliki kualitas rendah.
Atas tindakannya itu, Bank Century mengalami kesulitan likuiditas dan memaksa pemerintah melalui lembaga penjamin simpanan mengucurkan dana talangan senilai Rp 6,7 triliun.
Di jajaran buronan kakap lain juga ada sederet nama lain lagi, misalnya:
Sjamsul Nursalim, yang terlibat dalam kasus korupsi BLBI Bank BDNI. Perkiraan kerugian negara mencapai Rp 6,9 triliun dan 96,7 juta dollar Amerika. Kasus Sjamsul masih dalam proses penyidikan. Namun kasusnya dihentikan (SP3) oleh Kejaksaan.
Menurut Kompas, meski KPK sudah memasukkan namanya ke dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) pada September 2019, Sjamsul masih berkeliaran bebas di Singapura hingga saat ini.
Anton Tantular dan Dewi Tantular, yang terlibat kasus Bank Century. Kasus ini merugikan negara Rp 3,11 triliun. Kasus tersebut dalam penyidikan di Mabes Polri, Namun, menurut ICW perkembangan kasus tersebut tak jelas. Ia dikabarkan lari ke Singapura.
Bambang Sutrisno, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Surya, 2003. Perkiraan kerugian negara akibat ulah Komisaris Bank Surya ini mencapai Rp 1,5 triliun. Proses hukum berjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan sudah divinis seumur hidup. Bambang lari ke Singapura dan Hongkong. Pengadilan memvonis Bambang “in absentia”.
Hingga saat ini, Bambang masih berkeliaran bebas.
Eko Adi Putranto, terlibat dalam korupsi BLBI Bank BHS. Kasus korupsi Eko ini diduga merugikan negara mencapai Rp 2,659 triliun. Ia melarikan diri ke Singapura dan Australia. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis in abenstia 20 tahun penjara. Hingga kini Eko Adri Putranto masih berkeliaran bebas.
Agus Anwar, terlibat dalam korupsi BLBI Bank Pelita. Dalam kasus ini ia diperkirakan merugikan negara sebesar Rp.1,9 triliun Kasusnya saat itu masih dalam proses penyidikan. Saat melarikan diri ke Singapura, ia diberitakan mengganti kewarganegaraan Singapura. Proses selanjutnya tidak jelas.
Itu hanya sebagian kelas super kakapnya. Yan merugikan negara hingga level ‘T’ alias triliunan. Tentu saja masih ada sederet nama lain dengan kerugian negara level ratusan miliar.
Saya bukan jurnalis bidang hukum dan ekonomi. Nama nama yang disebut di atas itu sudah jadi konsumsi berita dan tertera di laman kejaksaan agung, KPK, Bareskrim Polri dan berita media besar selama bertahun tahun. Bisa dicek masing masingnya.
Kembali ke berita Kompas TV – jangan hanya karena menangkap seekor koruptor langsung dipromosikan dan melesat jadi Kapolri. Urusan masih panjang dan masih jauh. ***
* Penulis adalah jurnalis bidang film dan kebudayan. Tinggal di Depok, Jawa Barat. (SH)