Selarasindo.com- Thomas L. Friedman dari ‘New York Times’ mengatakan bahwa skeptis adalah sikap untuk selalu mempertanyakan segala sesuatu, meragukan apa yang diterima, dan mewaspadai segala kepastian agar tidak mudah ditipu.
Seorang yang skeptis akan berkata: “Saya kira itu tidak benar. Saya akan menceknya.”
Setiap wartawan diminta memiliki sikap skeptis. Bahkan ada yang mewajibkannya. Jurnalis tidak boleh percaya begitu saja keterangan narasumber, menerima informasi secara bulat bulat, menelan mentah mentah dan menyiarkan semua informasi yang dijejalkan dan dikirimkan kepadanya.
Untuk itu, mereka dibekali perintah, agar: cek, ricek dan cross cek! Agar berita yang disiarkannya berimbang. Cover both side!
Dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme”, empu jurnalis kaliber dunia Bill Kovach (Harvard) dan Tom Rosentiel (Newsweek) menyataan: “Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi.”
Hal yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi, katanya.
Larry King menggunakan “jurus bodoh” dan elemen kejutan dalam wawancaranya membuat natasumber membuka diri. Ellen DeGeneres selalu membuat nyaman narasumber dengan humor dan wajar cerianya. Dan Oprah Winfrey selalu menginspirasi.
PADA ERA “post truth” dan serba kesetaraan ini – sikap skeptis dan pentingnya verifikasi, tak semata mata hak istimewa (privilege) jurnalis – melainkan juga narasumber.
Bagaimana pun jurnalis tidak hidup di ruang hampa. Subyektifitas dan keterpengaruhan adalah hal yang niscaya. Keniscayaan.
Maka narasumber pun berhak skeptis juga. Tidak serta merta menerima undangan wawancara.
Sikap skeptis dimiliki oleh narasumber karena berbagai alasan. Misalnya : Apakah jurnalis benar benar independen? Apa dia tidak menjadi alat bagi pihak lain yang sedang berkepentingan dengannya?
Apakah pewawancara dan stasiun atau channel yang menugaskan tidak sedang diperalat untuk membalas dendam pihak lain dan atau mengorek informasi tertentu atas nama kepentingan publik?
Dengan kata lain apakah kengototannya untuk mewawancarai karena sedang membawa pesan pihak lain? Mengincar proyek, misalnya?
Apakah jurnalis yang wawancara benar benar kompeten dan menguasi masalah ? Atau sekadar mengira-kira isu yang ada? Bermodal asumsi asumsi semata?
Apakah si pewawancara bisa memberikan gambaran yang berimbang? Tidak mencari dukungan atau pembenaran dari asumsinya sendiri?
Apakah dalam wawancara narasumber bisa memberikan keterangan secara utuh? Atau dipotong potong sesuai kehendak yang mewawancarai? Sesuai “framing” dan “goals” yang sudah disiapkan, bahkan sebelum wawancara berlangsung?
Apakah selaku narasumber, dia sedang dimintai verifikasi hal ikhwal penugasan profesional yang diembannya? Atau sedang diadili dan dijadikan terdakwa?
Apakah si pewawancara sungguh sungguh bertanya? Atau sedang melancarkan tuduhan?
Apakah si pewawancara sedang mengkonfirmasi adanya informasi ? Atau cenderung langsung menghakimi?
Jurnalis
Sekali lagi jurnalis tidak bekerja di ruang hampa. Dia pribadi yang punya subyektiftas dan kepentingan. Dia yang bekerja pada korporasi atau organisasi juga membawa visi misi perusahaan.
Jika informasi yang diharapkan bisa didapat ahli mengapa nama pejabat tertinggi yang harus dihadirkan? Apakah pertimbangannya akurasi dan kompetensi atau karena order sponsor, semata atau gengsi demi rating acara?
Pada era kebebasan berpendapat arogansi bisa milik siapa saja. Juga jurnalis. Tak hanya pejabat – jurnalis juga bisa keliru, semena mena dan bias. Bahkan membully dan menindas!
Para Wartawan “Bodrek” kelas kecamatan pun – yang sejak awal berniat memeras dan berbuat kriminal – kini sudah fasih bicara tentang era keterbukaan, kebebasan berpendapat, “era transparansi”, “akuntabilitas”, “clean governance” “check and balance” dengan mengatas-namakan “kepentingan umum/ publik” kepada narasumber yang dianggap awam dan empuk dijadikan mangsa.
PWI – Persatuan Wartawan Indonesia, sejak dulu kala telah menetapkan kode etik jurnalistik dimana wartawan wajib menaatinya.
Dari sebanyak 11 pasal yang ada, berikut ini pasal pokok awalnya:
Pasal 1. Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
Pasal 2. Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Pasal 3. Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Demikian halnya dengan IJTI – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia – yang dibentuk di era reformasi menetapkan Kode Etik juga pada anggotanya, saat dideklarasikan pada 9 Agustus 1998 – yang dikukuhkan kembali pada Kongres 2000 dan 2005.
Di antaranya tertulis di sana:
BAB III – Cara Pemberitaan.
Pasal 8 : Jurnalis Televisi Indonesia menempuh cara yang tidak tercela untuk memperoleh bahan berita.
Pada BAB IV – Sumber Berita
Pasal 11: Jurnalis Televisi Indonesia menghargai harkat dan martabat narasumber.
Memaksa narasumber datang untuk dihakimi, dicecar pertanyaan seperti terdakwa – dengan jawaban yang kerap dipotong potong – demi menggiring opini sesuai kemauan si pewawancara – apakah itu sikap yang menghargai harkat dan martabat narasumber dan sesuai dengan cara yang tidak tercela ?
TERINGAT apa yang disampaikan Pemred majalah TEMPO, Wahyu Diyatmika, dalam diskusi webinar belum lama ini.
Katanya, ketika media ‘mainstream’ jatuh kepada pemodal besar, maka transparansi dan akuntabilitas saat ini bukan hanya berlaku untuk narasumber, melainkan juga kepada media dan sosok jurnalis yang mendapatkan informasinya.
Siapa pemilik dan pengelola media dan bagaimana mendapatkan iklan dan pemasukan bagi perusahaannya?
Bagaimana manajemen di redaksi – alur perolehan berita, kebijakan editorial, hingga penyiaran beritanya?
Kini – silakan publik mencari tahu dan menilai. (SH)
Dimas Supriyanto adalah wartawan senior yang sepanjang kariernya di Harian Umum Pos Kota)