Selarasindo.com–Langkah cepat Kapolda Kalbar, Irjen Sigid Tri Hardjanto dalam menindak pelaku perusakan Masjid Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat (Kalbar) patut diapresiasi. Pasalnya, hingga kini, sembilan orang sudah dijadikan tersangka dan ditahan.
Sebelumnya, Polda Kalbar yang menurunkan tim ditkrimumnya yang bekerja sama dengan Polres Sintang, telah menangkap 12 orang sejak hari Minggu (5 September 2021) kemaren. Bahkan, Kapolda menjanjikan secara berlanjut akan terus melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku perusakan masjid Amadiyah tersebut. Sehingga, perlu juga diperiksa pihak yang menjadi pemicu perusakan masjid, termasuk Bupati yang mengeluarkan surat penutupan masjid.
Siaran Pers IPW menyebutkan, dengan gerak cepat menangkap dan menahan pelaku perusakan, Indonesia Police Watch (IPW) berharap, keputusan Kapolda Kalbar itu menjadi sinyal kuat kepada kelompok-kelompok intoleran bahwa tindakan mereka adalah pelanggaran hukum dan negara tidak membiarkannya. Oleh karenanya, sikap seperti itu harus ditunjukkan polisi di wilayah manapun.
Pimpinan satuan kewilayahan seperti Kapolda, Kapolres seharusnya sigap pada tindakan-tindakan intoleran lain yang menggunakan kekerasan. Dengan begitu, negara hadir dalam konflik-konflik sosial yang berbau SARA.
Namun demikian, Indonesia Police Watch menilai, terjadinya peristiwa di Sintang merupakan kegagalan Kapolres Sintang AKBP Ventie Bernard Musak untuk membangun keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Sehingga, sudah layak kalau Kapolresnya diganti karena lalai dalam menjalankan tugas pokok Polri sesuai pasal 13 Undang-Undang 2 Tahun 2002 tentang Polri yakni memberikan keamanan, perlindungan, pengayoman pada warga dan aset jemaah Ahmadyah.
Peristiwa perusakan dan pembakaran masjid terjadi pada hari Jumat (3 September 2021). Ratusan orang berbondong-bondong menuju areal masjid dan menghancurkan bangunan serta melempar botol plastik berisi bensin. Tapi, dalam peristiwa itu tidak ada korban jiwa.
Konflik dan penyerangan terhadap ahmadiyah yang cukup besar pernah terjadi sepuluh tahun lalu di Desa Umbulan, Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten. Saat itu, hari Minggu (6 Februari 2011), seribuan warga menyerang sebuah rumah milik jemaah ahmadiyah. Akibatnya, tiga orang tewas, dua mobil dan satu sepeda motor rusak parah, dan satu rumah hancur.
Pada 20 April 2012, massa Front Pembela Islam (FPI) melakukan penyerangan terhadap masjid Baitul Rahim di Singaparna, Tasikmalaya. Akibatnya, bangunan masjid hancur dan terbakar karena dilempar bom molotov. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.
Terdapat pula perusakan masjid Ahmadyah di Desa Purworedjo kecamatan Ringinarum, Kendal, Jawa Tengah pada Maret 2016 yang sudah dilaporkan ke Polres Kendal tapi belum ada perkembangan penanganannya oleh Polres Kendal.
Seharusnya peristiwa tersebut, tidak perlu terjadi kalau semua pihak mengacu pada Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah Kepada Penganut, Anggota, Dan/Atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat. Disamping tentunya, pihak keamanan yakni Polri melakukan fungsi pre-emtif dan preventif dengan mengoptimalkan fungsi Bhabinkamtibmas dan intelijennya. (***)