Selarasindo.com–Bertempat di aula Umah Sastra Ahmad Tohari di kawasan wahana wisata edukasi Agro Karang Penginyongan (AKP) Sabtu 30 Oktober 2021 seniman yang juga sastrawan muda Banyumas Jufri Fatsanjani merilies karya novelnya berjudul Garis Nila.
Peluncuran novel keduanya setelah Garis Jingga ini diprakarsai oleh Omera Pustaka Ajibarang dalam rangka merayakan Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2021 sekaligus menggugah generasi muda agar mencintai sekaligus menggeluti dunia sastra.
Hadir dalam acara ini sastrawan kondang Banyumas antara lain H. Ahmad Tohari, Iwan Tirta, Edi Romadhon dan puluhan anak muda dari berbagai kalangan : mahasiswa, pelajar, guru hingga masyarakat umum penggemar Sastra. Hadir dalam kesempatan tersebut Kabid Kearsipan dan Perpustakaan kabupaten Banyumas Isterina Flamboyan SH dan Pimpinan Omera Pustaka Ajibarang.
Jufri Fatsanjani adalah sastrawan muda kelahiran Banyumas tahun 1980. Saat ini sebagai pengelola Umah Sastra Ahmad Tohari di wahana wisata edukasi Agro Karang Penginyongan (AKP)di desa Karang tengah Cilongok, Banyumas Jawa Tengah.
Ia adalah salah satu sastrawan muda produktif dan telah menulis sejumlah novel diantaranya Garis Jingga, Garis Nila dan yang tengah dalam proses Garis Legam Baja.
Sebelum peluncuran novel Garis Nila, diawali dengan acara lomba baca puisi diikuti oleh para penggemar Sastra yang mayoritas dari kawula muda.
Saya menulis maka saya ada.
H. Ahmad Tohari selaku tokoh Sastra dari Banyumas yang namanya mendunia ini dalam kata sambutannya mengatakan bahwa ada pepatah yang sangat menarik. “Saya menulis maka saya ada “. Dan sebaliknya, ” Saya tidak menulis maka saya tidak ada”.
Maka siapa saja yang menulis, itu menunjukkan bahwa dia itu ada. Satu contoh dia adalah Chairil Anwar sastrawan yang meninggal pada tahun 1949. Tulisannya juga tidak terlalu banyak. Tetapi karena kwalitasnya sangat bagus maka dikagumi banyak orang. Anak sekolah mana yang tidak mengenal nama Chairil Anwar. Dan namanya tetap hidup sampai sekarang. ” ungkap H. Ahmad Tohari (73) yang karya novelnya Ronggeng Dukuh Paruk telah ditranslit ke berbagai bahasa manca negara.
Untuk itu lanjutnya, saya berharap kepada kalian yang masih muda-muda jadilah penulis. Karena menulis adalah ketrampilan yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Siapa saja yang memproses dirinya jadi penulis maka jadilah ia seorang penulis. Prosesnya bagaimana? Yang pertama adalah mencintai bahasa. Hal yang memprihatinkan dimana saat ini banyak yang tidak mencintai bahasa. Bahasa Indonesia itu dianggap tidak penting dan merasakan bahwa bahasa itu hadir apa adanya, tidak perlu dipelihara.
“Kebanyakan sikap kita seperti itu.” ujarnya prihatin.
Setelah mencintai bahasa, syarat kedua adalah gemar membaca. Pernahkah kalian membaca satu buku sampai selesai? Membaca buku apapun usahakan dari awal sampai akhir selesai. Hanya pernah membaca satu buku sampai selesai saja itu masih belum cukup untuk jadi modal sebagai penulis. Untuk jadi penulis setidaknya membaca 100 buku dan sukur lebih banyak lagi.
” Kalau saya hampir 1000 buku yang saya baca. Karena tukang baca maka ketika supaya menulis ya gampang saja, ” ungkap H. Ahmad Tohari seraya mengatakan bahwa dulu tidak bercita-cita jadi penulis namun suka membaca sehingga akhirnya jadi penulis.
Untuk itu ia mengakak anak untuk mencintai bahasa Indonesia. Selain untuk menunjukkan kecintaan kepada negara kita juga untuk membangun diri kita sendiri untuk menjadi diri sendiri yang berbangsa atau bermartabat yakni menjadi pribadi yang baik.
H. Ahmad Tohari sangat mengapresiasi kepada Jufri Fatsanjani anak muda yang mencintai bahasa dan menekuni hobynya jadi penulis seperti yang hari ini meluncurkan buku karyanya berjudul Garis Nila.
” Karena rasa simpati saya kepada anak-anak muda yang gemar menulis, maka saya dari kondangan langsung mampir kesini, ” ujarnya.
Di akhir petuahnya H. Ahmad Tohari berharap kepada Jufri Fatsanjani untuk mengelola Umah Sastra ini sebagai tempat pengembangan literasi sehingga kegiatan seperti ini terus berkembang dan berkelanjutan.
Sebagai pertanda peluncuran buku tersebut, secara simbolis Jufri Fatsanjani menyerahkan novel Garis Nila kepada H. Ahmad Tohari dilanjutkan dengan acara bedah buku. (Saring Hartoyo)