Selarasindo.com–Pengusaha sukses kelahiran Gombong kabupaten Kebumen Jawa Tengah 15 Januari 1945 yakni Pak Liem atau Koeswintoro tanggal 1 Oktober 2021 meninggal dunia di usianya 76 tahun. Banyak kenangan yang ditorehkan baik untuk sanak saudara karyawan maupun masyarakat umum bahkan bagi bangsa dan negara, terutama di dunia pendidikan.
Sastrawan kondang Banyumas H. Ahmad Tohari sempat mengungkapkan kesannya dengan sosok Koeswintoro atau lebih dikenal dengan sebutan Pak Liem pendiri Grafika Grup yang bergerak di bidang percetakan, hotel, restoran hingga obyek wisata di Jawa dan Bali.
Isi hati Ahmad Tohari ketika diungkapkan kepada selarasindo.com saat ditemui di Umah Sastra Ahmad Tohari di kawasan obyek wisata edukasi Agro Karang Penginyongan (AKP), Sabtu 30 Oktober 2021 ketika menghadiri Lomba Baca Puisi dan Bedah Buku Garis Nila karya sastrawan muda Banyumas Jefri Fatsanjani.
Berikut ungkapannya.
Saya kenal dengan beliau almarhum Pak Liem (Koeswintoro) sejak sekitar tahun 2010 di Pemkab Kebumen yang saat itu mengadakan acara sarasehan tentang Nilai-Nilai Pancasila, dan saya diminta jadi narasumber.
Pak Liem hadir duduk di barisan paling depan, tapi saat itu saya belum kenal beliau. Saat itu saya ungkapan bahwa berbicara tentang Pancasila itu bisa melebar ke mana-mana. Jadi saya persempit pada masalah kuncinya yaitu Pancasila itu apa. Maksudnya, supaya orang menjadi Pancasialis harus punya dasar pikiran seperti apa.
Saat itu saya katakan bahwa kata kuncinya sederhana yaitu sikap eling. Eling dalam kesetaraan yang paling dalam yakni dekat dengan Tuhan, dan paling dekat dengan hati nuraninya sendiri. Itulah kondisi eling.
Ternyata uraian saya tentang eling ini sangat menarik perhatian Pak Liem sehingga selesai ceramah saya diminta duduk disampingnya dan ngobrol sedikit tentang Pancasila. Akhirnya Pak Liem mengajak saya ke tanah seluas 4 hektar lebih, yang baru dibelinya di desa Karangtengah kecamatan Cilongok Banyumas ini.
Tanah yang saat itu akan dibangun sebagai obyek wisata edukasi ini beliau minta kepada saya untuk memberi nama. Kemudian saya kasih nama Karang Penginyongan atau lengkapnya Agro Karang Penginyongan.
Umah Sastra Ahmad Tohari.
Tentang nama Umah Sastra Ahmad Tohari salah satu bangunan yang dibuat khusus oleh Pak Liem, saya sebenarnya agak pekewuh (tidak enak), mbok dikira sedang ingin menonjol-nonjolkan diri. Tetapi kalau memang ditujukan untuk kepentingan kasusasteraan Indonesia, untuk kepentingan pelajar, siapa tahu nama saya bisa menginspirasi mereka dan bisa mengikuti jejak saya jadi penulis.
Penulis itu keren.
Untuk jadi penulis itu tidak banyak yang berminat. Sebab jadi penulis itu tidak maregi (membuat kenyang). Tapi siapa tahu nanti banyak anak-anak muda idealis dan mau jadi penulis walaupun tidak membuatnya kenyang.
Salah satunya untuk memotivasi anak muda tertarik di bidang sastra, saya berterima kasih kepada Mas Jufri sebagai pengelola Umah Sastra ini yang sudah punya jadwal beberapa kegiatan seperti lomba baca puisi, bedah buku dan lainnya. Kedepan diharapkan ada pelatihan menulis dan lainnya. Yang penting anak-anak dikasih pemahaman bahwa menulis itu penting dan keren.
Sebab seseorang diketahui tingkat intelektualitasnya bisa dilihat dari tulisannya. Coba suruh nulis dua atau tiga kalimat akan bisa diketahui tingkat intelektualitasnya orang ini.
Menulis itu penting dan di negara-negara maju, menulis itu merupakan ketrampilan dasar sebagai profesi apa pun. Tentara, polisi, lurah, apalagi guru. Bagi mahasiswa itu menulis itu sebenarnya sesuatu hal yang biasa. Sedangkan di negara kita yang suka menulis hanya beberapa gelintir orang saja. Mahasiswa yang akan meraih gelar sarjana saja suruh menulis skripsi banyak yang masih kesulitan. Karena di negara kita minim dalam membekali pemahaman bahwa menulis itu adalah standar minimal atau kebutuhan dasar.
Dengan kemajuan teknologi seperti HP harus dikelola dengan baik. HP itu fungsinya amat penting. Namun jika tidak dikelola dengan baik maka bisa berdampak negatip. Bisa menyesatkan anak-anak yang belum tahu bahayanya jika salah dalam penggunaan HP.
Pesan Gus Dur.
Tentang Pak Liem saya teringat pada Gus Dur. Menurut Gus Dur, orang yang sudah baik perilakunya, baik lahir maupun batinnya itu sudah tidak perlu lagi ditanyakan tentang apa suku, ras, etnis maupun agamanya. Karena manusia ketika sudah tampil sebagai manusia yang baik di tengah masyarakat ya sudah menjadi manusia utama. Soal hubungan dengan Tuhan atau iman sebetulnya urusan batin. Dan itu hak seseorang untuk memilih agama atau kepercayaannya.
Pak Liem adalah sosok figur yang sangat sosialis, dan nasionalis. Cinta bangsa dan negara. Mau berkorban untuk sesama khususnya dunia pendidikan. Diharapkan menginspirasi anak anak muda untuk meniru jejak Pak Liem. Dengan begitu beliau akan dianggap sebagai pahlawan dan akan dikenang banyak orang.
Sangat kehilangan.
Saya tentu sangat kehilangan ketika 1 Oktober 2021 lalu beliau Pak Liem dipanggil yang Maha Kuasa (wafat). Terakhir saya sempat berbicara dengan beliau melalui telepon ketika sedang dirawat di Rumah Sakit di Jogja.
Waktu itu Pak Liem masih sempat bergurau. Jadi saya tidak mengira kalau beliau sudah tidak bisa pulang lagi. Tapi memang takdirnya sudah begitu.
Nama Pak Liem akan lama dikenang banyak orang karena memang orang yang baik, orang yang mau berkorban untuk masyarakat bangsa dan negara. (Saring Hartoyo).