Selarasindo.com–International Women’s Peace Group (IWPG) Indonesia berkomitmen menjalin kerja sama yang baik dengan Jaringan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Provinsi Nusa Tengara Barat (NTB).
Hal ini guna mencapai perdamaian dunia. Oleh karena itu, IWPG mengadakan acara
“Sosialisasi IWPG dan Konsolidasi Jaringan dalam Rangka Kampanye Gerakan Perdamaian FingerPeace” di Kota Mataram pada hari Rabu, 22 Februari 2023 yang lalu, bersama dengan 40 orang aktivis LSM NTB di Kampus UIN Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Meskipun konsentrasi atau fokus setiap LSM berbeda-beda, namun intinya adalah bagaimana menghilangkan konflik mulai dari hal-hal terkecil, sehingga perdamaian dunia bisa dicapai,” kata Branch Manager IWPG Indonesia, Ana Milana pada pertemuan tersebut.
Reuni aktifis NTB.
Pertemuan yang dimotori oleh LSM Solidaritas Perempuan NTB itu dirasakan sebagai reuni para aktifis NTB yang selama ini sudah menjalin kerja sama yang baik. Pada kesempatan itu, setidaknya hadir aktivis dari 25 LSM yang aktif di Provinsi NTB. Mereka datang dari berbagai daerah, selain dari Mataram, ada juga yang secara khusus datang dari Ketapang, Lombok Barat, Lombok Timur dan sebagainya.
Di hadapan para aktivis, Ana Milana menjelaskan IWPG adalah organisasi nirlaba yang terdaftar di Kementerian Kesetaraan Gender dan Keluarga di Republik Korea, terdaftar di United Nations Department of Global Communications (UN DGC), dan juga telah memperoleh ‘Special Consultative Status’ dari Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC).
IWPG berkantor pusat di Seoul, Korea, dan memiliki 102 cabang di 130 negara, termasuk Korea Selatan, dan 400 organisasi yang bekerja sama (MOA) di seluruh dunia. Perempuan yang ingin bekerja untuk perdamaian lintas negara, agama, dan etnis dapat menjadi anggota IWPG. IWPG berfokus pada perempuan dan anak untuk perdamaian.
“Perempuan adalah jantung keluarga dan juga jantung sebuah komunitas. Seorang perempuan, baik sebagai ibu, anak, maupun istri, memiliki peran yang begitu penting. Ketika peperangan terjadi, korban yang paling berat adalah perempuan karena harus merelakan suami, anak, saudara-saudara untuk pergi berperang,” katanya.
Perempuan butuh keamanan dan kedamaian.
Yang paling penting, perempuan adalah seorang yang memiliki hati yang lembut.
“Untuk hal sekecil apa pun, hatinya sangat lembut, sehingga dialah orang yang paling menderita ketika ada di antara anggota keluarganya yang tersakiti. Perempuan yang paling sedih dan marah,” tuturnya.
Karena itu, perempuan butuh kenyamanan dan kedamaian, supaya hatinya tidak tersakiti.
“Semua perempuan berhak memperoleh perdamaian karena perannya yang sangat penting dalam keluarga, yakni sebagai panutan, sebagai orangtua, sebagai pengajar bagi anak-anaknya, dan banyak peran lain,” ujar Ana.
Pada kesempatan itu, Ana Milana mengajak segenap aktivis untuk mengikuti Pendidikan
Pengajar Perdamaian yang diselenggarakan oleh IWPG, yakni Peace Lecturer Training Education (PLTE).
“Kami mengajak ibu-ibu untuk ikut kelas PLTE. Metodenya seperti home schooling.
Materi pelajaran disampaikan melalui video, tujuannya agar kita semua memiliki pendapat yang sama dulu, dan bahasa yang sama tentang apa itu perdamaian,” ungkapnya.
Pendidikan itu diselenggarakan secara gratis dan sukarela, tetapi harus memegang komitmen waktu dan menyelesaikannya sampai selesai, agar bisa bersama-sama memahami pemikiran yang sama, tentang arti perdamaian.
“Banyak orang berkata damai, damai, damai tetapi artinya berbeda-beda. Setelah satu pengertian, akan dibentuk satu komite,” katanya.
Perdamaian mudah diraih jika sudah ada kesatuan konsep, proyek yang sama, diselesaikan sama-sama untuk segera direalisasikan. Dengan perdamaian, banyak hal yang ingin dicapai di dunia, yaitu kesejahteraan semua orang.
“Ketika kita bekerja bersama, bergandengan bersama, impian akan terasa indah. Namun,
keindahan itu jangan hanya terasa ketika tidur. Ketika bangun maunya indah juga. Dalam hidup nyata indah dikerjakan dan dilakukan supaya mimpi jadi kenyataan. Perdamaian adalah warisan yang diberikan kepada anak-anak generasi mendatang.
Dunia yang damai, kesejahteraan dan
kedamaian. Hal yang paling dasar yang ingin dimiliki oleh manusia adalah rasa nyaman, damai, kesejahteraan dalam hidup mereka. Ini budaya yang ingin kita bagikan di sini,” katanya.Seperti diketahui, IWPG mengadakan program pelatihan untuk para pendidik, ‘Pelatihan Pengajar Perdamaian’ untuk membuat miliaran perempuan bersatu dalam perdamaian dan untuk semua perempuan di seluruh dunia untuk belajar dan mempraktikkan semangat perdamaian.
Pembelajaran bisa dilakukan fleksibel untuk peserta pelatihan dua kali seminggu, selama lima minggu. Disiapkan 10 kurikulum pelatihan, tugas dan pengumpulan tugas.M
Metodenya dilakukan secara home-schooling dengan menonton pembelajaran dalam bentuk video dalam dalam youtube yang mudah diakses tetapi antara kami sendiri tidak terjadi kedamaian. Itu mengapa kami hadir di sini, mau dapat
perdamaian yang hakiki,” katanya.
Dipaparkan oleh beliau bahwa saat ini masih sering terjadi konflik antar agama maupun antar kelompok di NTB, bahkan antar kampung, warga bisa saling bunuh, saling bakar.
“Mudah-mudahan ada kedamaian di masa depan,” harapan beliau.
Bapak Badarudin dari LSBH NTB mengatakan, konflik itu harus disudahi untuk meraih perdamaian. “Ibaratnya, satu pohon dipotong baru tumbuh tunas,” katanya.
“Apa itu kedamaian? Bagaimana cara meraih kedamaian itu. Banyak pengetahuan. Ada motif dan tujuan menciptakan kedamaian melalui perang. Negara mengobarkan perang dengan tujuan menemukan perdamaian. Namun, ada cara damai dengan bicara secara kekeluargaan, kesepakatan dan berpihak kepada kedua belah pihak untuk mencapai keadilan,” katanya.
Dia menuturkan, ada perbedaan antara menggibah orang dengan menilai orang.
“Ada perbedaan yang tajam, menilai hanya sekedar mengetahui siapa orang itu. Tetapi kalau menggibah, itu artinya sangat benci kepada orang tersebut,” katanya.
“Bagaimana menciptakan suatu perdamaian kalau kita saja tidak menerima perbedaan? Saya ingin tanyakan dalam forum ini, apakah bisa perdamaian itu bisa hadir di tengah ketidakadilan dan ketidakbenaran?” katanya.
Ada beberapa kasus agama yang sedang santer di NTB. Kelompok mayoritas menghajar sekelompok minoritas. Beribadah pun dilarang. Artinya, kedamaian di NTB ini situasinya tidak baik baik saja, sedang tidak damai.
“Apakah kita sedang nyaman dengan ketidakdamaian ini? Tidak ada manusia yang tidak menginginkan perdamaian,” katanya.
Ibu Dwi Suciana, LSM Mitra Samya mengatakan tentang filosofi FingerPeace, dibentuk dari dua jari yang bentuknya berbeda dan fungsinya berbeda-beda. Demikian halnya di lingkungan
kehutanan sebagai konsentrasi LSM tersebut.
“Konflik terjadi akibat regulasi, ada pembedaan regulasi pusat, provinsi, kabupaten, desa, memicu riak-riak
ketidakamanan dan ketidaknyamanan,” katanya.
“Wilayah dampingan kami, bisa terkontrol dengan baik. Karena kearifan lokal. Untungnya bisa mengendalikan,” katanya.
Beliau tertarik mengikuti PLTE. “Alangkah baiknya berkomitmen mengikuti home schooling perdamaian ini secara utuh,” ungkapnya.
Saat kasus pandemi, kita semua diuji, dari strata tertinggi hingga terendah. Tanggung jawab sebagai orang jaringan bisa meluruskan masalah yang merebak di tengah masyarakat.
“Yang saya temui Dompu, Bima, aman-aman saja. Konflik di tingkat masyarakat masih terkontrol, perang yang terjadi adalah perang regulasi. Kami masih terus belajar tentang perdamaian ditingkat tapak,” ujarnya.
Ibu Selly Sembiring dari Koalisi Perempuan Indonesia wilayah NTB mengatakan, “Kata damai itu memang sesuatu yang sulit dicapai. Klien-klien kami, dari kalangan perempuan dan anak menderita sekali tanpa kedamaian akibat konflik dari dalam rumah tangga sendiri, tetangga, dan masyarakat yang jauh dari rasa damai. Banyak kasus yang tidak masuk akal, suami menjual istri. Itu nyata. Istri hanya penjual bensin dan rokok di pinggir jalan, namun hasil penjualannya
diambil oleh suami. Tak cukup sampai di situ, istrinya dijual lagi ke pria lain, untuk dapat uang, lalu uangnya diambil untuk main judi. Ada beberapa kasus seperti itu.”
LSM yang khusus mendampingi perempuan dan anak ini bisa menangani beberapa kasus yang sama dalam setahun.
“Bahkan, delapan tahun belakangan ini, sepenuh waktu kami hanya
mengurusi perempuan yang mengalami ketidakdamaian dalam rumah tangganya,” katanya.
“Sering kali agama tidak mampu berperan sebagai pendamai, sebab agama dalam lembaga, masih mengedepankan lembaganya masing-masing. Demikian halnya di kalangan LSM. Padahal sebenarnya, kita bisa sama-sama menyelesaikan masalah dengan jaringan luar biasa yang kita jalin, yang jauh lebih baik dari sebelumnya,” ungkapnya.(Juli/ SH).