Selarasindo.com–PEMBERITAAN gencar seputar sangketa rumah Guruh Sukarnoputra di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan – beberapa hari terakhir – menimbulkan keprihatinan pada diri saya.
Tidak tahu persis masalah yang mengungkungnya, nampaknya Mas Ruh terlibat utang piutang bernilai puluhan miliar – yang berbuntut upaya penyitaan rumah miliknya di Jalan Sriwijaya 2 nomor 9, Kebayoran Baru, Jaksel itu.
Mas Ruh adalah panggilan sayang untuk Guruh Soekarno, putra bungsu Sang Proklamator.
Untunglah – (orang Jawa “untung terus” meski kena musibah pen) – yang mau disita bukan rumah Jl. Sriwijaya Raya 26 – rumah bersejarah. Rumah yang ini bukan hanya bersejarah bagi Ibu Fatmawati dan keluarga – yang pernah tinggal di sana – melainkan juga bersejarah bagi saya dan remaja seumuran saya di dekade 1980an.
Ibu Fat menyingkir dari Istana Negara ke rumah di Kebayoran Baru itu lantaran Bung Karno menikah lagi. Begitu cerita yang saya dengar.
Masa itu, saya sering mondar mandir ke sana. Setiap merayakan ulang tahun, 15 Januari (lahir 1953) – saya pun diundang. Masa itu, Mas Ruh sedang jaya-jayanya. Dia produktif membuat pergelaran megah, fenomenal – mengadaptasi pentas kabaret di panggung ala ‘Moulin Rouge’ di Paris – tapi dengan isi tarian Nusantara. Dalam kemasan Extravaganza yang megah, glamour. Gabungan tarian dan nyanyian. Juga lawakan.
Guruh Sukarnoputra pernah menjadi idola remaja di ibukota dan memberi inspirasi juga pada remaja seusia kami, di Indonesia. Bukan lantaran dia putra Sang Proklamator, melainkan karena karya karya kreatif dan pentas seninya.
Anak anak Jaksel masa itu sangat mengidolakannya. Mereka yang berjiwa seni berebutan melamar jadi anggota sanggar seninya, “Swara Mahardhika”. Menyandang sebutan “Anak SM” atau “GSP” (Gencar Semarak Perkasa) masuk golongan elite. Setiap pembukaan anggota baru, ratusan yang melamar, padahal yang dipilih puluhan saja. Persyaratan berat yang menantang, dalam setiap audisi: calon pelamar diminta menari dan menyanyi. Kadang menari saja, tari Bali atau Jawa misalnya, namun iringannya mendadak diganti lagu pop atau irama disko. Lalu berimprovisasi.
Saya pernah melihat langsung bagaimana Mas Ruh melatih anak buahnya. Galaknya minta ampun. Keras didikannya. Disiplin tinggi, tapi hasilnya memang luar biasa.
Sederet artis kondang di tanah air merupakan alumni Swara Mahardhika, di antaranya Titi DJ, Memes, Rico Tampatty, Gusti Randa, Rina Gunawan, Harry de Fretes, Denny Malik, Ati Ganda, Andri Sentanu, Marissa Haque, Ari Tulang, Lolita, Asri Welas, Panca, Andreas, dan banyak nama kondang lainnya.
Dalam satu kesempatan, di tengah acara latihan, saya pernah dikenalkan kepada anak buahnya. “Ini Supriyanto, ini wartawan dan dia sahabat saya.” Sejak itu, sambutan anak anak SM nampak segan pada saya. Soalnya, si kumel ini sebelumnya dicuekin.
Baik secara langsung di rumahnya di Sriwijaya 26 atau melalui telepon, kami bicara banyak hal. Dia terobsesi menampilkan budaya Indonesia secara megah agar generasi muda tak malu menari dan menyanyi dengan semangat Indonesia. Saya hapal cara menghubunginya. Sehabis Magrib saya menelepon Mas Untung, asisten yang biasa menerima telepon dan menyambungkan. Masa itu belum ada hape. Saya menelepon dari kantor dan bicara panjang lebar soal apa saja.
KEPADA generasi Milenial dan Gen-Z saya beritahukan, Guruh Sukarno yang kini 70 tahun adalah seniman serba bisa. Dia musisi, pencipta lagu, penata tari, sutradara panggung, sutradara film, pembuatan batik, dan banyak lainnya. Seluruh jiwa seni yang ada pada Bung Karno terwariskan dan tumpah padanya.
Guruh mendirikan “Swara Mahardhika”, 27 Maret 1977. Dan sejak itu secara berkala membuat pergelaran megah di Balai Sidang Jakarta dan kota lainnya.
Sebelum itu dia merupakan musisi pentolan “Guruh Gypsy”, “Gank Pegangsaan” bersama Keenan Nasution dan Chrisye alm. Lagu karyanya ‘Renjana’ yang dibawakan Grace Simon di tahun 1975 membawanya ke Asia Song Pop Festival di Tokyo. Tak sampai disitu, lagunya yang lain berjudul “Kembalikan Baliku” yang dibawakan Yopie Latul ini juga sukses di kancah Internasional pada tahun 1987 .
Guruh Sukarnoputra adalah pelopor lagu pop yang menyisipkan kata kata dari bahasa Sanskerta. Sebagaimana lagu Smaradhana yang dibawakan almarhum Chrisye : ”Ratih Dewi / Citra khayalku prana / dalam hidupku / yang haus akan asmara/ hmm, nikmatnya bercinta Andika Dewa / Sirna duli sang asmara / merasuk sukma / menyita heningnya cipta / Oh, resahku jadinya”.
Pentasnya selalu menunjukkan kecintaan ada Tanah Air dan warisan Budaya Nusantara. Judul pergelarannya, “Untukmu Indonesiaku”, “Gilang Indonesia Gemilang”, demikian pula, judul judul lagunya: “Lenggang Puspita” – “Zamrud Khatulistiwa”- “Gending Sriwijaya”, “Candu Asmara”- “Puspa Indah Taman Hati” – “Cinta Indonesia”.
Dan dia adalah pria ganteng pada masanya. Masa itu, saya kerap ngobrol berhadapan, kadang berduaan di kantornya, melihat wajahnya dari dekat, dengan cambang yang habis dipotong dengan gurat gurat kebiruan. Saya pun menatap takjub – ternyata ada manusia seganteng ini di muka bumi. Dia pewaris wajah tampan Ir. Soekarno dalam format “edisi yang disempurnakan”.
Saya putus kontak dengan Mas Ruh sejak dia terjun ke politik. Meski saya ikut turun ke jalan “Memerahkan Jakarta” dalam kampanye PDI 1992, jelang rezim Suharto tumbang, namun saya kurang sreg dia ke politik.
Menurut saya, dunia Mas Guruh adalah dunia seni. Dunia panggung pertunjukkan. Bukan panggung politik. Terbukti, di gedung parlemen di Senayan, dia tidak “bunyi”.
Terakhir kontak ketika dia sedang di Bali. “Eh, kamu kemana aja? Kok gak pernah nongol, ” tanyanya, dari balik telepon dengan keramahan seperti dulu. Kami kangen kangenan lewat telepon saja.
Saat itu, Guruh sudah berubah tidak seperti yang saya kenal di ‘Swara Mahardhika”. Dan saya pun seperti terlupakan dan tak pernah diundang lagi di acara-acaranya. (sh)