Senin, November 25
Shadow

SEMAR, TOGOG DAN SOKOLA BUTET. Oleh: Jarot Citro.

Jarot Citro. (ist).

Selarasindo.com–Ilmu pengetahuan selalu membawa kutukannya sendiri‟. Saya kembali mendengar kalimat ini dari film “Sokola Rimba” yang kesekian kali saya tonton lagi untuk menulis esai ini.

Film ini bukan dari jenis yang menghibur, dan oleh karena itu pada masa edarnya tak
banyak meraup jumlah penonton. Tema film ini „terlampau serius‟ bagi mereka menyukai
film “Ada Apa Dengan Cinta”. Bergenre semi dokumenter dengan cerita berbasis kisah nyata
Butet Manurung saat menyemai „pencerahan‟ di belantara Bukit Duabelas, sudah pasti plot
film ini terasa ampang dibanding dengan alur “Hantu Nenek Gayung”.
Namun baiklah, saya tak ingin bercerita soal sinematografi. Ini cerita soal perubahan
sosial yang kebetulan menjadi tema film, yang selalu menghadapkan dua „tokoh‟ utama.

Disatu sisi, keyakinan bahwa masa lalu haruslah kekal dan tak boleh diusik. Lalu di seberang
sisi , ada kehendak berubah yang mempercayai masa depan bisa direka menjadi lebih baik.

Membauri ketenangan Suku Anak Dalam di pelosok Jambi, Butet dengan segera memergoki dilema ini: Membiarkan harmoni tak tersentuh dan berlangsung apa adanya, atau menyulut pengetahuan agar orang-orang rimba itu memahami ancaman dari “dunia terbuka” terhadap “dunia tersembunyi” yang mereka pijaki.

Meski yang disebut menyulut pengetahuan itu sejatinya tak lebih dari mengajari membaca, menulis dan berhitung. Sementara di mata
Butet, senyatanya ancaman itu tak terhindarkan lagi ketika sepetak demi sepetak hutan alam
tergusur oleh perkebunan yang ditopang kuasa harta dari “dunia terbuka”.

Lalu saya teringat wejangan Suwargi Lurah Citro yang dulu mengajariku banyak hal, termasuk falsafah pewayangan salah satunya. Saya tak ingat persisnya, tapi sudah pasti lebih dari 25 tahun silam.

Syahdan pada masa „awang-uwung‟ jagad pewayangan, Hyang Wenang memanggil kedua anaknya, Hyang Antaga dan Hyang Ismaya. Bertanyalah Hyang Wenang pada mereka,

“Apa yang selalu setia mengikuti hidup manusia?”.
Antaga yang kelak bernama Togog menjawab dengan penuh yakin, hasrat! Sementara Ismaya yang kemudian bernama Semar memiliki jawaban lain, bayang-bayang. Atas kuasa

Hyang Wenang, maka terciptalah Si Bilung atau Sarawita dari hasrat Togog. Lalu juga Si Bawor atau Bagong yang disabda dari bayang-bayang Semar. Mungkin karena itulah Bilung dideskripsikan sebagai karakter yang „methisil‟,„sekarepe dhewek‟, tidak tahu aturan dan tidak memiliki kesetiaan.

Sedangkan Bawor dilukiskan sebagai sosok lugu, apa adanya, „mbrengkunung‟ namun selalu setia pada apa yang diyakininya.

Pertanyaannya kemudian, jawaban siapa yang benar di antara keduanya? “Ini bukan
soal salah dan benar,” begitulah kata Lurah Citro, seorang „penatus‟ yang ditakdirkan Gusti Allah menjadi ayahku.

“Sebab senyatanya hasrat dan bayang-bayang adalah dua hal yang
selalu mengiring „kasunyatan‟. Seniscaya kelahiran dan kematian menyertai kehidupan. ”Hasrat, tutur Lurah Citro, adalah keinginan untuk selalu mengubah kehidupan demi menemukan keadaan yang lebih baik dibanding masa sebelumnya. Sementara bayang-bayang adalah pengalaman hidup pada silam hari, yang telah memberikan ukuran baik dan buruk pada saat ini.

Jika hasrat adalah pembuka pergerakan jaman, maka bayang-bayang yang memberi rambu-rambu di atas lintasan masa yang akan dilewati.

Dengan demikan Togog dan „bala sabrang‟ bukanlah „liyan‟ dalam kosmos kesadaran
orang Jawa. Togog bersama „bala sabrang‟, dan Semar bersama „bala tengen‟, adalah dua sisi
dari satu kesatuan alam pikir untuk memaknai kenyataan yang kita pijak hari ini.

Kira-kira begitulah konklusi wejangan Lurah Citro kala itu.
Sementara di antara silang dua koordinat tersebut, di situlah letak „kasunyatan‟, yaitu
realitas kehidupan manusia dengan segala kerumitannya. Dalam falsafah pewayangan, „kasunyatan‟ dilambangkan dengan eksistensi Hyang Manikmaya, sang penguasa tri loka bawana. Yakni sosok ketiga yang mewakili pertautan nafsu, kehendak berubah, watak
istikamah, sekaligus kekolotan.

Toh waktu itu otak saya tetap tak mudah menafsir makna „pitutur‟ tersebut, yang bahkan terasa jadul bagi nalar saya yang mulai tumbuh menjadi sekuler. Tetapi di bangku
sekolah, kemudian saya menemui penalaran Friederich Hegel ini, bahwa pergerakan jaman
selalu berjalan di atas hukum dialektika.

Kebenaran yang mapan pada suatu masa hanyalah „thesa‟ yang sementara, yang akan diuji oleh „antithesa‟ atau kebenaran lain di sisi seberangnya. Dari hubungan dialektis itu tumbuh kebenaran baru yang menengahi dua sisi.
Itulah „sinthesa‟. Lalu „sinthesa‟ kembali mapan dan menjadi „thesa‟, lalu diuji lagi dengan
„antithesa‟ baru, lalu muncul lagi „sinthesa‟ lebih baru, dan seterusnya, dan seterusnya.

Hanya saja kita juga tahu, pergeseran medan sosial dan tatanan hidup tidaklah
semudah memahami cerita film dan mencerna sepatah teori. Selalu ada biaya sosial yang mesti dibayarkan, dan resiko terjadinya involusi yang menjauhkan proses dari titik tujuan.

Dalam kisah “Sokola Rimba”, pengorbanan sosial itu adalah terusiknya harmoni yang telah
mapan bersilam-silam tahun lamanya. Itulah pengorbanan atas kemampuan baca Si Bungo,
murid Butet, yang membuat sukunya melek huruf dan mengerti untung-rugi dari surat
perjanjian yang disodorkan para pengembang lahan.

Itikad Butet yang orang Batak dan Sokola Rimba yang berada di pedalaman Jambi, barangkali adalah medan penjelas bagi universalitas pikiran Lurah Citro yang Jawa.

Katanya, “Hasrat Togog dan bayang-bayang Semar akan terus mengiringi setiap lakon manusia, di atas bumi manapun ia berada. Karena di antara kedua titik itulah garis kehidupan berlanjut dan
menjadi daya bagi „owah gingsiring kahanan‟.

”Saya tidak tahu entah darimana ayahku yang hanya lurah „ndeso‟ itu mendapatkan penalaran yang nyaris konvergen dengan teori dialektika Hegel. Tetapi semenjak itu saya mulai berpikir, di balik penampakannya yang kuno dan kedaluwarsa, kosmologi „ngelmu‟
orang Jawa ternyata menyimpan „kedalaman‟ tak terduga, yang tersembunyi dari keriuhan
penalaran ilmiah ala Barat. (sh).

(Jarot Citro. Dukun seni ebeg Banyumasan dan tinggal di pinggir Kali Kranji, Purwokerto) .

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.