Rabu, November 27
Shadow

LENONG GEN Z PENTAS DI ACARA KENDURI URBAN HUMANITY DENGAN TEMA “REFLEKSI KEHIDUPAN PEMULUNG”

Lenong Teater Alam Sinema di acara Kenduri Urban Humanity Refleksi Kehidupan Pemulung, di Sanggar Humaniora Jatisampurna Kota Bekasi, Sabtu (24/02/2024).

Selarasindo.com—Di tengah semakin derasnya gempuran budaya global melalui kemajuan teknologi informasi, menyisakan kekhawatiran semakin lunturnya pemahaman seni dan budaya tradisional khususnya di kalangan generasi muda.

“Penting kita dorong semua pihak agar bergotong royong menjaga keluhuran budaya sebagai identitas bangsa dengan menjaga dan melestarikan kebudayaan di negeri sendiri,” ujar Ketua Dewan Pembina Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan, Iwan Burnani.

Hal ini disampaikan aktor teater dan film ini usai menyaksikan pergelaran Lenong persembahan grup Teater Alam Sinema di acara Kenduri Urban Humanity Refleksi Kehidupan Pemulung, di Sanggar Humaniora Jatisampurna Kota Bekasi, Sabtu (24/02/2024).

Salah satu cara melestarikan kebudayaan, kata Iwan, adalah dengan mewariskan cinta seni budaya kepada anak-anak dan remaja. Karena mereka nanti yang akan menjadi generasi penerus bangsa di masa depan.

Para pemain Teater Sinema pentas di Sanggar Humanora, Jatisampurna, Bekasi Sabtu 24/2/24.(ist) 

“Dengan begitu kepribadian dan karakter kita sebagai bangsa Indonesia akan tumbuh. Ini lagi yang harus saya tekankan kepada generasi muda dan anak-anak di tengah situasi globalisasi. Kita tidak boleh meninggalkan dan melupakan kearifan lokal budaya dan seni,” tegasnya.

Grup Teater Alam Sinema membawakan sebuah cerita “Bukan Urban Kaleng-Kaleng”. Walau para pemainnya bukan profesional kesenian Lenong, namun akting mereka rata-rata cukup kuat. Improvisasi dan kerjasama antar pemain cukup terkontrol.

Pemerannya tidak hanya mampu berakting membawakan karakter perannya, namun sekaligus juga piawai “ngebodor” dan memainkan semua alat musik yang ada.

Usai pementasan acara dilanjutkan dengan diskusi bertema “Kesenian Tradisi dan Proses Kreatif Seni Pertunjukan.”

Menampilkan narasumber Wiyono Undung Wasito, (Dalang Wayang Orang Bharata) Sarjana Sastra Jawa Universitas Indonesia yang juga Sekretaris Umum Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan.

Pembanding Iwan Burnani, (Aktor) Pendiri Bengkel Teater Rendra yang juga Ketua Dewan Pendiri Yayasan Humaniora, dan moderator Eddie Karsito, Ketua Umum Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan.

Hadir juga dalam diskusi dan pertunjukan ini penyanyi dan musisi Kohar Kahler, yang mengaku sejak dulu menyukai kesenian Lenong.

“Saya suka Lenong, suka yang lucu-lucu, komedi. Tapi terus terang saya baru kali ini nonton Lenong secara langsung. Selama ini saya nonton Lenong hanya di televisi. Ternyata lebih menarik,” ujar Kohar Kahler.

Menurut Wiyono Undung Wasito, ada tiga konvensi atau pengetahuan tradisi yang harus dikuasai. Konvensi budaya, bahasa dan pakem Lenong itu sendiri.

“Budaya Betawi secara antropologis mempunyai kekhasan tersendiri. Bahasa dan logat bahasa Betawi, sastra Betawi, dan tentu pakem seni Lenong itu sendiri merupakan satu pengetahuan unik dan khas,” ujar Undung.

Lenong terus bertransformasi dan tetap eksis. Meski beda dulu beda sekarang, kehadiran teater tradisional ini selalu dinanti.

Pertunjukan Lenong Betawi yang dibawakan grup Teater Alam Sinema ini merupakan salah satu upaya untuk melestarikan kebudayaan yang ada di Jakarta. Transformasi pengetahuan budaya. Semua pemerannya adalah remaja.

“Selain menghibur, kegiatan ini juga memberikan pesan dan nilai-nilai kebudayaan Betawi ke hadapan para penikmat seni,” ujar Undung lagi.

M.Noer Soleh yang akrab di panggil Om Jo, selaku Pembimbing grup Teater Alam Sinema, menyampaikan, Lenong merupakan salah satu bentuk teater peran di Betawi dan merupakan salah satu kesenian rakyat yang mengalami akulturasi dari sudut pandang seni pertunjukan.

“Lenong bukan hanya bercerita tentang bangsawan, namun juga bercerita tentang kisah-kisah rakyat Jelata. Selain itu folklor seni Lenong tidak diketahui lagi siapa penciptanya (anonim). Karena ia sudah menjadi milik suatu kolektif, yakni suku bangsa Betawi,” kata Om Jo.

Teater Alam Sinema tidak hanya mengajarkan seseorang untuk belajar bermain peran atau lakon (bersandiwara).

“Kami juga mengajarkan berbagai macam instrumen musik yang mengiringi yang berasal dari akulturasi budaya yang berbaur di Jakarta yakni gambang kromong,” ungkap Om Jo lagi.

Dari susunan alat musiknya terlihat, bahwa orkes gambang kromong merupakan perpaduan antara unsur musik pribumi yang di campur dengan unsur Cina.

Teater Alam Sinema mencoba mengenalkan kesenian Lenong kepada anak-anak zaman sekarang dengan model kekinian. Sehingga lahirlah Lenong yang dimainkan oleh para gen Z model Teater Alam Sinema ini.

Di penghujung acara, Ketua Umum Yayasan Humaniora Rumah Kemanusiaan Eddie Karsito, mengatakan, dengan mempelajari seni dan budaya generasi penerus akan memiliki pemahaman tentang perbedaan dan keberagaman.

“Penghargaan atas keberagaman dapat membuat setiap anak bangsa mudah bergaul, bersosialisasi dengan siapa saja tanpa sekat, menyatu dengan semua manusia,” ujar Eddie Karsito.

Bahkan, menurut Eddie, bukan hanya di Indonesia, saat berada di luar negeri anak juga tidak akan membedakan dari mana dia berasal.

“Mudah bergaul dengan teman-temannya yang berasal dari berbagai penjuru dunia, tanpa melihat suku, ras, dan agama,” ujar penggiat budaya yang sudah keliling ke empat benua ini.(Edkar/sh).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.