Jumat, November 15
Shadow

BAGAIMANA NASIB INDUSTRI PERFILMAN INDONESIA DI ERA PEMERINTAHAN PRABOWO? Oleh: Gunawan Paggarau Ketua Umum BPI

Gunawan Paggarau. (ist).

Selarasindo.com— Sepuluh tahun pemerintahan Jokowi berakhir dengan pencapaian luar biasa dalam industri perfilman Indonesia, yakni 60 juta penonton pada tahun 2024.

Ini merupakan pencapaian tertinggi dalam sejarah perfilman nasional. Dua kementerian, yaitu Kemendikbudristek dan Kemenparekraf, telah berperan penting dalam pembinaan industri ini. Namun, pertanyaan muncul: Apakah capaian ini sepenuhnya merupakan hasil dari program pemerintah, atau kontribusi masyarakat perfilman sendiri yang lebih signifikan?

Pada era pemerintahan sebelumnya, ketika SBY memimpin, industri perfilman berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Masyarakat perfilman berjuang tanpa dukungan pemerintah dalam hal perlindungan hak-hak pekerja, tanpa arahan yang jelas, dan dengan tantangan besar dalam distribusi dan produksi film. UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman, yang disahkan pada masa itu, juga tidak mampu sepenuhnya menjawab tantangan yang dihadapi.

Kini, pemerintahan Prabowo harus belajar dari pengalaman dua rezim sebelumnya. Harapan besar masyarakat perfilman ada pada rezim Prabowo untuk tidak membiarkan masyarakat perfilman berjuang sendiri. Kolaborasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat perfilman harus menjadi prioritas utama, bukan hanya melihat film sebagai hiburan, tetapi juga sebagai alat penting dalam pembangunan sosial, budaya, dan ekonomi.

Belajar dari Negara Lain:

Sejumlah negara telah berhasil mengembangkan industri perfilman dengan pendekatan holistik dan kolaboratif. Contohnya, di Beijing dan Shanghai, pemerintah daerah memainkan peran kunci dalam mendukung industri perfilman melalui pendanaan, peningkatan infrastruktur bioskop, dan adopsi teknologi canggih. Selain itu, reformasi berbasis pasar di Shanghai berhasil menghidupkan kembali industri perfilman lokal yang pernah mengalami kemunduran pada 1990-an.

Korea Selatan adalah contoh lain yang bisa diadaptasi oleh Indonesia. Pemerintah Korea Selatan telah lama menjadikan industri film sebagai komoditas ekspor utama, melalui kebijakan “Hallyu” atau Korean Wave. Dukungan pemerintah sangat besar, mulai dari penyediaan dana hingga regulasi kuota film lokal yang mewajibkan bioskop menayangkan film domestik. Ini berkontribusi pada kesuksesan global film seperti Parasite, yang meraih penghargaan tertinggi di Festival Film Cannes.

Di Perancis, melalui Festival Film Cannes dan Centre national du cinéma et de l’image animée (CNC), pemerintah memainkan peran penting dalam menyediakan pendanaan, mempromosikan inovasi, serta melindungi hak-hak pekerja film. Model CNC ini juga melibatkan kolaborasi internasional yang mendukung pekerja film dalam mendapatkan perlindungan hak dan kesejahteraan yang layak.

Peran Masyarakat Perfilman Indonesia:

Masyarakat perfilman Indonesia, yang terdiri dari unsur pendidikan, profesi, usaha, dan komunitas, memiliki peran yang sangat penting dalam pengembangan industri. Kerjasama dengan pemerintah menjadi kunci untuk menciptakan ekosistem perfilman yang dinamis dan berkelanjutan. Pendidikan perfilman harus disesuaikan dengan teknologi perfilman terkini, pekerja film harus mendapatkan perlindungan lebih baik, dan sektor usaha harus didukung dengan insentif pajak serta akses pendanaan.

Kesimpulan:

Film memiliki peran strategis dalam memperkuat identitas nasional, mendukung pendidikan, memajukan pemahaman sosial-budaya, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, UU No. 33 Tahun 2009 sudah tidak relevan lagi dan harus digantikan dengan regulasi yang lebih modern dan komprehensif. Regulasi baru harus mampu mengakomodasi perkembangan teknologi, memperkuat identitas nasional, dan mendukung distribusi film yang lebih inklusif. Dengan demikian, perfilman nasional dapat memberikan kontribusi yang lebih besar dalam membangun ketahanan nasional, baik dari aspek sosial, budaya, maupun ekonomi.

Pertanyaan untuk Kabinet Prabowo:

Di bawah kepemimpinan Prabowo, pertanyaan kunci yang harus dijawab adalah: Apakah industri perfilman akan tetap dibina oleh dua kementerian (Kemendikbudristek dan Kemenparekraf), atau akan lebih efektif jika berada di bawah satu kementerian, seperti Kementerian Kebudayaan atau Kementerian Ekonomi Kreatif? Mengingat peran strategis film sebagai alat ketahanan nasional, sangat penting bagi pemerintah untuk memutuskan pengelolaan industri ini dengan tepat. Keputusan ini akan menjadi penentu masa depan industri perfilman Indonesia, baik dalam konteks kebudayaan maupun ekonomi. (Msdjo/sh).

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.