H.Ahmad Tohari. (ist).
Selarasindo.com—Perkumpulan Penulis Indonesia Satu Pena memberikan penghargaan Lifetime Achievement Award 2024 kepada Ahmad Tohari, sastrawan asal Jati Lawang, Banyumas, Jawa Tengah, penulis novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk.
Perkumpulan Satu Pena didirikan oleh Denny JA yang dikenal sebagai analis dan pakar survei politik yang turut memperkaya dunia penulisan, dan mencetuskan ide puisi esai.
Penghargaan Lifetime Achievement Award diberikan Satu Pena kepada mereka yang berkarya di bidangnya minimal selama 40 tahun. Penghargaan kepada KH Ahmad Tohari, yang selain sastrawan juga dikenal sebagai kyai di NU – sahabat karib almarhum Gus Dur – bukan hanya sebuah pengakuan atas dedikasi panjangnya dalam sastra. Melainkan juga penghormatan kepada suara yang telah menjadikan desa, keadilan, dan spiritualitas sebagai wajah sejati Indonesia.
Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk dengan latar belakang krisis politik 1965 telah terbit dalam edisi Inggris, Cina, Jepang, Jerman, dan Belanda. Melalui penghargaan “pengabdian seumur hidup” itu mengukuhkan Kang Ahmad Tohari sebagai penjaga warisan budaya Indonesia sekaligus jembatan antara tradisi dan modernitas.
Penulis yang memulai karir sebagai wartawan koran Merdeka di tahun 1970-an, dikenal lewat cerpen Jasa-jasa buat Sanwirya (1977), novel Kubah (novel, 1980), menyusul Trilogi (Ronggeng Dukuh Paruk 1982, Lintang Kemukus Dini Hari 1985, dan Jantera Bianglala, 1986), kemudian Di Kaki Bukit Cibalak” (1986), Senyum Karyamin (kumpulan cerpen, 1989), Bekisar Merah (novel, 1993), Lingkar Tanah Lingkar Air (novel, 1995), Nyanyian Malam (kumpulan cerpen, 2000), Belantik (novel, 2001), Orang Orang Proyek (novel, 2002), Rusmi Ingin Pulang (kumpulan cerpen, 2004), Ronggeng Dukuh Paruk Banyumasan (novel bahasa Jawa, 2006; yang meraih Hadiah Sastera Rancagé 2007, kemudian Mata yang Enak Dipandang (kumpulan cerpen, 2013).
Kisah Rongeng Dukuh Paruk juga difilmkan dengan judul Penari (2011) disutradarai Ifa Isfansyah. Film ini memenangkan 4 Piala Citra dalam Festival Film Indonesia (FFI). Pada tahun 1983, sudah difilmkan oleh Garuda Film dengan judul Darah dan Mahkota Ronggeng dengan sutradara Yasman Yazid dan pemain Enny Beatrice.
Perkumpulan Satu Pena menganggap Ahmad Tohari, yang kini berusia 76 tahun, layak menerima penghargaan dengan tiga alasan. Pertama, ia adalah penjaga jiwa desa. Dalam setiap karya Tohari, desa bukan hanya latar, tetapi denyut nadi dari cerita itu sendiri. Dari trilogi Ronggeng Dukuh Paruk hingga Di Kaki Bukit Cibalak, Tohari menempatkan desa sebagai ruang hidup yang penuh warna, tradisi, dan perjuangan.
Ahmad Tohari, kelahiran 13 Juni 1948, dinilai telah melukiskan harmoni antara manusia, alam, dan adat istiadat dengan kejujuran yang melampaui romantisme. Di saat modernisasi sering kali meminggirkan narasi masyarakat kecil, Tohari mengangkatnya ke panggung utama sastra. Suaranya adalah nyala lilin bagi identitas budaya yang terus terancam.
Kedua, Ahmad Tohari adalah saksi dan suara keadilan sosial. Karya-karyanya adalah perenungan mendalam atas ketimpangan, eksploitasi, dan pergolakan politik. Kubah menggambarkan perjalanan seorang mantan anggota PKI dalam mencari pengampunan, sementara Orang-Orang Proyek mengungkap praktik korupsi yang merugikan rakyat kecil.
Sastrawan Ahmad Tohari tidak sekadar bercerita, ia merenungkan kompleksitas moral manusia dalam konteks sosial yang tak adil. Keberanian ini menjadikan Tohari lebih dari seorang sastrawan; ia adalah saksi zaman yang menolak berdiam diri.
Ketiga, ia adalah penghubung spiritualitas dan kemanusiaan. Dalam setiap paragrafnya, ada keseimbangan antara nilai-nilai spiritual dan realitas manusia.
Tohari memadukan keduanya tanpa terjebak pada dogma. Baginya, spiritualitas adalah tentang pengertian yang mendalam terhadap sesama dan alam semesta. Pesan-pesan universal ini menjadikan karyanya relevan di tengah dunia yang semakin terfragmentasi.
Lebih dari itu, Ahmad Tohari adalah pelita yang tidak hanya menerangi jalannya sendiri, tetapi juga jalan bagi generasi penulis masa depan. Ia adalah bukti bahwa sastra dapat menjadi jembatan untuk merawat warisan budaya, menantang ketidakadilan, dan menyentuh inti kemanusiaan.
“Jika sastra adalah suara yang memahat waktu, maka Ahmad Tohari salah satu pemahat terpenting yang dimiliki Indonesia”, demikian pernyataan Satu Pena.
Dalam perjalanan panjangnya, Tohari telah melahirkan karya-karya yang tidak hanya mencerminkan keindahan, tetapi juga menyuarakan kegelisahan manusia, demikian pernyataan persnya. (dms/sh).