Selarasindo.com—Pria bernama lengkap Agus Sunaryo SPd MPd ini menjabat kepala sekolah di SMA Negeri 1 Kebumen Jawa Tengah sejak Juli 2015. Praktis 1 tahun lebih ia memimpin sekolah favorit di kabupaten Kebumen ini. Sebelumnya Pak Agus, demikian panggilan akrabnya, selama sekitar 4,5 tahun memimpin SMA Negeri 1 Pejagoan. Banyak yang ditorehkan pria yang satu ini dalam memimpin dunia pendidikan.
Diantaranya, ketika memimpin SMA Negeri 1 Pejagoan, beberapa siswanya meneruskan pendidikannya di Australia. Agus memberikan motivasi kepada anak didiknya untuk menimba ilmu setinggi-tingginya, bahkan jika perlu timbalah ilmu hingga ke luar negeri.
Dari motivasi itu salah satu siswanya bernama Indra tergugah tahun 2012 berhasil menggugah salah satu siswanya bernama Indra untuk kuliah sambil kerja di Australia. Hingga kini sudah banyak siswa Kebumen yang belajar sambil kerja di luar negeri.
Dalam memotivasi anak didiknya untuk menimba ilmu di luar negeri ini Agus Sunaryo tidaklah sembarangan. Untuk meyakinkan anak didiknya, terlebih dulu ia melakukan observasi ke negeri Kanguru. Keberangkatannya itu atas kerjasama dengan salah satu konsultan pendidikan Indonesia yakni Arnantyo Naresiworo pendiri Narasy International Education Consultant (NIEC). Arnantyo Naresiworo adalah putra Gombong- Kebumen Jawa Tengah yang juga lulusan Australia itu.
Menurutnya, selama ini orang Indonesia banyak yang menganggap bahwa pendidikan di luar negeri itu lebih bagus dibanding dengan di negeri sendiri Indonesia. Hanya saja bangsa kita juga terkendala pemahaman bahwa sekolah di luar negeri itu biayanya mahal. Meskipun mereka menganggap pendidikan di luar negeri lebih baik namun karena biaya mahal, banyak yang mengurungkan niatnya untuk menyekolahkan anaknya di luar negeri.
“Selain itu, budaya orang Indonesia khususnya Jawa ada pepatah mengatakan Mangan Ora Mangan Asal Kumpul (Makan tidak makan asal kumpul).
Dengan pemahaman itu maka budaya merantau, budaya hijrah, budaya untuk mencari pengalaman yang lebih luas di tempat lain untuk memperkaya pengalaman juga menjadi permasalahan. “Akhirnya sedikit sekali yang mau berpisah dengan orang tua untuk merantau ke negeri orang guna memperluas ilmu pengetahuannya.” ujar Agus Sunarto
Lalu, bagaimana sih sebenarnya pola pendidikan di negara-negara yang menurut kata orang pendidikannya lebih maju? Apakah benar pendidikan di sana lebih baik? Untuk itu perlunya ada sebuah study banding agar mengetahui tentang sistem pendidikan di negara tersebut. Itulah pada tahun 2011, SMA Negeri 1 Pejagoan menjalin kerjasama dengan NIEC. Saat itu Ia mendapat kesempatan melakukan kunjungan ke Australia yang difasilitasi oleh NIEC.
Di Australia ia mengunjungi sejumlah perguruan tinggi termasuk sekolah setingkat SMP, SMA dan bahkan SD. Dalam kunjungannya juga sambil belajar tentang budaya masyarakat Australia. Dari pengalaman itulah sebagai bahan sosialisasi yang dipergunakan untuk memberikan pemahaman kepada orang tua siswa yang kebetulan anaknya tertarik dan ingin tahu bagaimana caranya menimba ilmu di luar negeri. Sejak itu minat siswa SMA Negeri 1 Pejagoan untuk kuliah sambil kerja di luar negeri terus meningkat. Bahkan sejumlah siswa lulusan SMA Negeri 1 Pejagoan menimba ilmu di Australia sudah ada yang lulus D3 dan kini tengah menimba S1.
“Awalnya mereka merasa keberatan masalah biaya. Setelah dijelaskan bahwa yang terpenting ada biaya awal dan ada jaminan, akhirnya banyak orang tua yang kemudian bertekad menyekolahkan anaknya di luar negeri khususnya Australia.” ujar Agus lagi.
Siap mental dan kuasai bahasa Inggris.
Selain adanya uang jaminan, dari awal anak tersebut juga harus membekali dengan penguasaan bahasa Inggris dengan mengikuti kursus. Hal ini untuk memudahkan komunikasi dalam keseharian baik sesama teman di kampus. Sedangkan jika sudah disana, perguruan tinggi yang dituju melakukan kontrak kerjasama dengan mencarikan pekerjaan untuk mahasiswa dari Indonesia.
Dengan demikian sejak dari awal sudah ada pemikiran bahwa selama mereka kuliah di sana biaya hidup tidak semata mengandalkan dari orang tua. Dari kebijakan itulah kemudian lulusan SMA Negeri 1 Pejagoan kabupaten Kebumen Jawa Tengah yang memiliki semangat untuk melanjutkan ke perguruan tinggi di Australia tidak ada masalah.
“Karena setelah mereka diterima di perguruan tinggi dan beberapa bulan mengikuti pendidikan di sana, sisa waktunya bisa untuk bekerja sesuai dengan bidang atau jurusan yang dipilihnya.” ujarnya lagi.
Dengan demikian maka selama anak tersebut kuliah di sana biaya hidupnya tidak semata mengandalkan dari orang tuanya. Dengan pola kuliah sambil bekerja tersebut cukup memotifasi baik anak maupun orangtua yang selama ini merasa keberatan menyekolahkan anaknya di luar negeri menjadi lebih bersemangat dan optimis bahwa mereka bisa mengirimkan anaknya belajar di luar negeri. Dari kerja paroh waktu tersebut selanjutnya hasilnya bisa untuk menutup biaya hidup dan kuliah.
Terkendala biaya awal.
Selama ini yang menjadi kendala bagi orang tua yang anaknya ingin belajar di luar negeri adalah faktor pembiayaan awal mulai dari transpot, akomodasi awal maupun biaya pengurusan administrasi seperti visa, paspor dan lainnya. Namun setelah biaya awal terpenuhi, untuk selanjutnya mereka bisa kuliah sambil bekerja sehingga sudah bisa mengurangi beban orang tua karena bisa mandiri dari kerja paroh waktu tersebut.
Namun dari pengamatannya selama ini yang menjadi masalah bagi anak didiknya yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi di luar negeri adalah masalah keberanian si anak dan keikhlasan dari orang tua untuk melepaskan anaknya ke negeri orang.
“Hal ini banyak orang tua merasa khawatir kalau anaknya jauh dari orang tua.” paparnya.
Padahal lanjutnya, sama saja seperti orang Sumatera, Sulawesi, Kalimantan atau Irian yang melepas anaknya untuk meneruskan pendidikannya di Pulau Jawa. Mereka ikhlas melepas anaknya untuk menimba ilmu di perguruan tinggi sesuai dengan pilihannya di Jawa. Hanya saja yang menjadi perbedaan adalah masalah budaya yang berbeda antara budaya Indonesia dengan budaya luar negeri dimana mereka melanjutkan pendidikannya.
Sebagai pendatang maka siswa harus memahami tentang perbedaan tersebut sehingga tidak ada rasa khawatir dalam beradaptasi. Meski demikian orang tua tidak perlu khawatir yang berlebihan melepaskan anaknya untuk menimba ilmu di negeri orang. Hal ini karena mereka juga sudah bisa membedakan mana yang baik dan mana yang tidak.
Dengan pemahaman seperti itu, sejak menjalin kerja sama dengan NIEC , alumi SMA Negeri 1 Pejagoan dimana selama 4,5 tahun Agus Sunaryo memimpin, setiap tahunnya mengirimkan siswanya belajar di luar negeri khususnya Australia.
Perbedaan sosial budaya.
Ketika ditanyakan apakah SMA Negeri 1 Kebumen dimana saat ini ia memimpin, sudah ada siswanya belajar di luar negeri? Agus mengatakan, bahwa situasi dan kondisi di sekolah ini berbeda dengan di SMA Negeri 1 Pejagoan. Masih banyak orang tua wali murid di sini yang belum memahami apa dan bagaimana cara menyekolahkan anaknya di luar negeri. Orang tua di sini selama ini banyak yang merasa khawatir melepaskan anaknya menimba ilmu di luar negeri.
“Untuk itu kami masih perlu sekali sosialisasi untuk memotivasi baik kepada siswa maupun orang tuanya.” tambahnya.
Sekolah bukan sekedar mengejar nilai dan ijasah.
Menurutnya, sebagian orang tua di Indonesia yang anaknya kuliah sudah menjadi paradigma dan pola pandang bahwa ketika kuliah itu semata untuk mendapatkan selembar ijasah dan mendapat gelar kesarjanaan.
Hal itu terlepas waktu kuliah itu bagaimana dan dia mendapatkan apa dan seberapa besar kadar keilmuannya. Ilmu yang diperoleh biasanya menjadi pertimbangan yang nomor kesekian. Yang diutamakan oleh orangtua maupun anak bahwa kuliah yang terpenting adalah bagaimana mendapatkan ijasah dan gelar tersebut sarjana.
Sedangkan pendidikan, khususnya di Australia agak berbeda dengan di Indonesia. Kalau orang Australia belajar tidak terlalu mementingkan gelar atau ijasah tapi yang dibutuhkan adalah ketrampilan dan ilmu pengetahuan. Dengan begitu orang di sana dalam menimba ilmu bukan semata mencari ijasah tapi lebih mengutamakan ilmu pengetahuan dan ketrampilan (lifeskill). (Saring Hartoyo)